BAB 4 . HUKUM PERIKATAN
4.1 Pengertian Hukum Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut“ver bintenis
”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum
di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti; hal yang mengikat orang
yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya
dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa,
misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan,
misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau
letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada
dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh
masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan
yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan
hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu
hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di
mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum,
akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum
keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of
succession) serta dalam bidang hukum pribadi (personal law).
4.2
Dasar Hukum Perikatan
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber yaitu :
1.
Perikatan yang timbul dari
persetujuan
2.
Perikatan yang timbul dari
undang – undang
3.
Perikatan terjadi bukan
perjanjian
Dalam berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menterjemahkan verbintenis danovereenkomst, yaitu :
- Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst.
- Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakaiistilah Perutangan untukverbintenis dan perjanjian untukovereenkomst.
- Achmad Ichsan dalam bukunya Hukum Perdata IB, menterjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst dengan persetujuan.
·
Berdasarkan uraian di atas maka
dapat disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia dikenal tiga istilah terjemahan
bagi ”verbintenis” yaitu :
- Perikatan
- Perutangan
- Perjanjian
Sedangkan
untuk istilah ”overeenkomst” dikenal dengan istilah terjemahan dalam bahasa
Indonesia yaitu :
perjanjian dan persetujuan. Untuk menentukan istilah
apa yang paling tepat untuk digunakan dalam mengartikan istilah perikatan, maka
perlu kiranya mengetahui makna nya. terdalam arti istilah
masing-masing.Verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya
mengikat. Jadi dalam hal ini istilah verbintenis menunjuk kepada adanya
”ikatan” atau ”hubungan”. maka hal ini dapat dikatakan sesuai dengan
definisiverbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan tersebut di
atas maka istilah verbintenis lebih tepat diartikan sebagai istilah perikatan.
sedangkan untuk istilah overeenkomst berasal dari dari kata kerja overeenkomen
yang artinya ”setuju” atau ”sepakat”. Jadiovereenkomst mengandung kata sepakat
sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh BW. Oleh karena itu istilah
terjemahannya pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut.
Berdasarkan uraian di atas maka istilahovereenkomst lebih tepat digunakan untuk
mengartikan istilah persetujuan.
4.3
Azas-azas hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH
Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
·
·Asas Kebebasan Berkontrak Asas
kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan
bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya
dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
·
Asas konsensualisme Asas
konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata
sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu
formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal
1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah :
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah :
- Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
- Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
- Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
- Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
4.4
Wanprestasi
Sebelum meninjau wanprestasi ada baiknya
terlebih dahulu kita mengenal yang dimaksud dengan prestasi. Dalam
suatu perjanjian,
pihak-pihak yang bertemu saling mengungkapkan janjinya masing-masing dan mereka
sepakat untuk mengikatkan diri satu sama lain dalam Perikatan untuk melaksanakan
sesuatu. Pelaksanaan sesuatu itu merupakan sebuah prestasi, yaitu yang dapat
berupa:
- Menyerahkan suatu barang (penjual menyerahkan barangnya kepada pembeli dan pembeli menyerahkan uangnya kepada penjual).
- Berbuat sesuatu (karyawan melaksanakan pekerjaan dan perusahaan membayar upahnya).
- Tidak berbuat sesuatu (karyawan tidak bekerja di tempat lain selain di perusahaan tempatnya sekarang bekerja).
·
Jika debitur tidak melaksanakan prestasi-prestasi
tersebut yang merupakan kewajibannya, maka perjanjian itu dapat dikatakan cacat
– atau katakanlah prestasi yang buruk. Wanprestasi merupakan suatu prestasi
yang buruk, yaitu para pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai isi
perjanjian. Wanpestasi dapat terjadi baik karena kelalaian maupun kesengajaan.
Wanprestasi seorang debitur yang lalai terhadap janjinya dapat berupa:
- Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
- Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuasi dengan janjinya.
- Melaksanakan apa yang dijanjikannya tapi terlambat.
- Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
Kapan tepatnya debitur melakukan wanprestasi?
Menjawab pertanyaan ini gampang-gampang sulit. Gampang karena pada saat membuat
surat perjanjian telah ditentukan suatu waktu
tertentu sebagai tanggal pelaksanaan hak dan kewajiban (tanggal penyerahan
barang dan tanggal pembayaran). Dengan lewatnya waktu tersebut tetapi hak dan
kewajiban belum dilaksanakan, maka sudah dapat dikatakan terjadi wanrestasi.
Waktu terjadinya wanprestasi sulit ditentukan ketika
di dalam perjanjian tidak disebutkan kapan suatu hak dan kewajiban harus sudah
dilaksanakan. Bentuk prestasi yang berupa “tidak berbuat sesuatu” mudah sekali
ditentukan waktu terjadinya wanprestasi, yaitu pada saat debitur melaksanakan
suatu perbuatan yang tidak diperbolehkan itu.
Jika dalam perjanjian tidak disebutkan kapan suatu
hak dan kewajiban harus dilaksanakan, maka kesulitan menentukan waktu
terjadinya wanprestasi akan ditemukan dalam bentuk prestasi “menyerahkan
barang” atau “melaksanan suatu perbuatan”. Di sini tidak jelas kapan suatu
perbuatan itu harus dilakasanakan, atau suatu barang itu harus diserahkan.
Untuk keadaan semacam ini, menurut hukum perdata, penentuan wanprestasi
didasarkan pada surat peringatan dari debitur kepada kreditur – yang
biasanya dalam bentuk somasi (teguran). Dalam peringatan itu kreditur meminta
kepada debitur agar melaksanakan kewajibannya pada suatu waktu tertentu yang
telah ditentukan oleh kreditur sendiri dalamsurat peringatannya. Dengan
lewatnya jangka waktu seperti yang dimaksud dalam suratperingatan,
sementara debitur belum melakasanakan kewajibannya, maka pada saat itulah dapat
dikatakan telah terjadi wanprestasi.
Debitur yang wanprestasi kepadanya dapat dijatuhkan
sanksi, yaitu berupa membayar kerugian yang dialami kreditur, pembatalan
perjanjian, peralihan resiko, dan membayar biaya perkara bila sampai
diperkarakan secara hukum di pengadilan.
4.5 Hapusnya Perikatan
HAPUSNYA PERIKATAN pasal 1381:
·
Pembayaran
·
Penawaran pembayaran tunai,
diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
·
Pembaharuan utang
·
Perjumpaan utang atau kompensasi
·
Percampuran utang
·
Pembebasan utang
·
Musnahnya barang yang terutabf
·
Kebatalan atau pembatalan
·
Berlakunya suatu syarat batal
·
Lewatnya waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar